Wajah Bahasa Ku Kini

Minggu, 13 Oktober 2013 0 komentar

     Dalam pembelajaran bahasa, seringkali lebih menekankan pada penggunaan bahasa, tetapi dalam pelaksanaannya bahasa masih dianggap sebagai satu interaksi penutur dalam kehidupan sehari-hari. Tidak mementingkan baku atau tidaknya suatu kata/kalimat yg terucap. Yang penting sopan.
Sopan yg seperti apa?
Berbahasa tidaak dg kata2 kasar, tidak dg kata2 yg kotor, berbahasa dengan lembut, dengan nada yg tidak tinggi, dan sebagainya.

     Indonesia memiliki banyak sekali budaya dan bahasa yang masing-masing berbeda. Makadari itu, bisa saya katakan, bagi orang yg belajar tentang bahasa, maka unsur budaya termasuk penting didalamnya. Walau banyak orang yang berfikir, bahasa tidak ada kaitannya dengan budaya. Padahal, bisa kita lihat. Masing-masing budaya, memiliki tutur kata bahasa yg masing-masing berbeda.

     Seberapa penting dan seberapa terkaitnya antara bahasa dan budaya?
Bisa kita ambil contoh, budaya orang-orang Bekasi dan Betawi, yang terbiasa berbicara bahasa nya yang kurang tepat. Misal:
Baku-> "Anak kecil sekolah naik sepedah"
Budaya org Bekasi-> "Bocah kola naek peda"
Mungkin jika didengar orang Sumatra, Medan dan lain-lainnya yg memiliki budaya berbahasa lainnya akan terdengar tidak jelas. Dan mungkin jg bisa menimbulkan hal/pemikiran yg negative dg pengucapan bahasa yg cepat dan dangan nada yg tidak biasa.

     Contoh lainnya, kata butuh dalam masyarakat Indonesia di Pulau Jawa berarti perlu, tetapi dalam masyarakat Indonesia di Kalimantan berarti kemaluan. Orang Bengkulu memanggil kakek dan nenek itu dengan sebutan nenek lanang dan nenek tino, sedangkan dalam bahasa Indonesia nenek itu berarti ibu dari ayah atau ibu kita. Orang makassar dan Ambon menggunakan kata bunuh (yang tentu sinonimnya matikan) untuk listrik, lampu televisi dan radio. Seperti dalam kalimat “tolong bunuh lampunya”, sudah siang. Sementara itu kata bujur yang berarti pantat bagi orang Sunda, ternyata berarti “terima kasih” bagi orang Batak (Karo), dan “benar” bagi orang Kalimantan Selatan (Banjarmasin).

     Itulah kenapa org harus mengerti keterkaitan antara bahasa dg budaya agar tau bahasa yg sepeti apa yang harus digunakan pada saat berada di daerah-daerah yg punya budaya berbahasa nya masing-masing. Agar tidak terjadi salah kaprah. Namun perbedaan ini justru berfungsi mempertahankan dasar identitas diri dan integrasi sosial masyarakat tersebut.

     Mengutip dari artikel yg saya baca (indonesiasastra.org), bahasa adalah hasil budaya suatu masyarakat yang kompleks dan aktif. Bahasalah faktor yang menentukan terbentuknya kebudayaan. Bahasa sebagai alat komunikasi yang terdiri dari sistem lambang, yang dikomposisikan pada kerangka hubungan kelompok sosial. Dengan demikian bahasa merupakan ujaran yang diucapkan secara lisan, verbal secara arbitrer. Lambang, simbol, dan tanda-tanda yang digunakan dalam bahasa mengandung makna yang berkaitan dengan situasi hidup dan pengalaman nyata manusia.

     Pengaruh budaya terhadap bahasa dewasa ini banyak kita saksikan. Banyak kata atau istilah baru yang dibentuk untuk menggantikan kata atau istilah lama yang sudah ada. Hal tersebut karena dianggap kurang tepat, tidak rasional, kurang halus, atau kurang ilmiah. Misalnya kata pariwisata untuk menggantikan turisme, kata wisatawan untuk menggantikan turis atau pelancong. Kata-kata kuli dan buruh diganti dengan karyawan, babu diganti dengan pembantu rumah tangga, dan kata pelayan diganti dengan pramuniaga, karena kata-kata tersebut dianggap berbau feodal.

0 komentar:

Posting Komentar

 

©Copyright 2011 Ayo Berimajinasi | TNB